December 8, 2013

Perintah Meninggalkan Keturunan dalam Keadaan Kaya ??

Segala Puji Bagi Allah, kami memujiNya, meminta kepadaNya, dan memohon ampun kepadaNya serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang Allah beri petunjuk maka tiada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang Allah sesatkan, karena dia tidak mau mendapat petunjuk, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah yang tidak ada sekutu bagiNya dan kami bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad Shallahu’alaihi wa Sallam adalah hamba dan RasulNya.

Sobat muslim, kita temui pada hari-hari ini sebagian manusia yang mengajak manusia agar bekerja dan menjadi kaya. Pada dasarnya bekerja memang merupakan sebuah kewajiban laki-laki untuk memenuhi kebutuhan hidup orang-orang yang menjadi tanggungannya. Namun tujuan bekerja bukanlah agar kita kaya. Mereka menyebutkan jika kita kaya maka kita akan bisa bersedekah dengan menggunakan harta-harta yang kita miliki dan kita bisa memajukan perekonimian islam, sehingga tidak bergantung dengan sistem-sistem ribawi yang membelit kita saat ini.

Bukankah dahulu Rasulullah shallahu’alaihi wa Sallam tidak pernah memerintahkan hal ini. Bukankah para sahabat radhiallahu’anhum tidak pernah berlomba-lomba mencari kekayaan agar bisa bersedekah, namun mereka radhiallahu’anhum berlomba-lomba beramal dengan apa yang mereka miliki. Sebagian orang tersebut menggunakan dalil surat an Nisaa ayat 9  untuk mendukung ucapan mereka bahwa kita harus kaya sehingga tidak meninggalkan anak keturunan kita dalam keadaan miskin. Benarkah ayat tersebut berisi perintah seperti itu. Mari kita simak penafsiran Imam Ibnu Katsir dalam terhadap surat an Nisaa ayat 9 dan 10, semoga bermanfaat.

"Dan Hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar".(9) "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala"(10)

FirmanNya:{ وَ لْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خِلَفِهِمْ} “Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka.” Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu Abbas:”Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang membahayakan ahli warisnya, maka Allah Subchanahu Wa Ta’alamemerintahkan orang yang mendengarnya untuk bertakwa kepada Allah serta membimbing dan mengarahkannya pada kebenaran. Maka hendaklah ia berusaha menjaga ahli warisnya sendiri apabila ia takut mereka disia-siakan.” Demikianlah pendapat Mujahid dan para ulama lainnya.

Di dalam Ash Shaihain dinyatakan bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam saat menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqash, beliau ditanya:”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki banyak harta dan tidak memiliki ahli waris kecuali seorang putri. Apakah boleh aku bershadaqah dua pertiga hartaku?” Maka RasulullahShallahu’alaihi wa Sallam menjawab:
لاَ قاَلَ: فَا الشَّطْرُ؟ قَالَ:((لاَ)) قَالَ:((الثُّلُثُ، وَ الثُّلُثُ كَثِيْرٌُ)) ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَي الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم: ((إِنَّكَ إِنْ تَذَرْ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ، خَيْرٌُ مِنْ أَنْ تَذَرَ هُمْ عَالَةًَ، يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ
“Tidak.” Ia bertanya:”Setengah?” Beliau menjawab:”Tidak.” Dia bertanya lagi:”(Bagaimana) sepertiga?” beliaupun menjawab:”Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu cukup banyak.” Kemudian RasulullahShallahu’alaihi wa Sallam bersabda :”Sesungguhnya kamu tinggalkan keturunanmu dalam keadaan cukup adalah lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka miskin meminta-minta kepada orang lain.” (HR Bukhari-Muslim)

Di dalam Ash Shahih dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Seandainya orang-orang mau menguranginya lagi dari sepertiga menjadi seperempat (tentu lebih baik), karena Rasulullah Shallahu’alaihi wa Sallam bersabda : ’Ya, sepertiga, dan sepertiga itu pun masih banyak.’” Para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat jika ahli waris kaya maka dianjurkan bagi orang yang akan wafat untuk menyempurnakan sepertiga wasiatnya. Namun, jika ahli waris itu miskin, maka dianjurkan untuk mengurangi wasiat sehingga tidak lebih dari sepertiga.
Adapun maksud perintah bertakwa kepada Allah pada ayat ini :{ فَلْيَتَّقُوْا اللهَ} “Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertkawa kepada Allah” adalah di dalam memelihara harta anak-anak yatim, yaitu sebagaimana firmanNya:{ وَلاَ تَأْكُلُوْ ها ٓ إِسْرَافًَا وَ بِدَارًَا} ‘Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya).’” Demikian yang dituturkan oleh Ibnu Jarir dari jala al Aufi dari Ibnu Abbas, dan ini adalah pendapat yang baik.

Karena itu setelah ayat ini Allah Subchanahu wa Ta’ala melanjutkan dengan firmanNya{ إِنَّ الَّذِ يْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اليَتَمَي ظَلْمًَا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًَا، وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًَا}”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka).” Artinya, apabila mereka memakan harta-harta anak yatim tanpa alasan, maka berarti ia telah memakan api yang bergolak di dalam perut-perut mereka pada hari Kiamat.

Di dalam kitab Ash Shahihain, diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah Shallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
إِجْتَنِبُوْا السَّبْعَ المُوْبِقَاتِ، قِيلَ : يَا رَسُلُوْ اللهِ وَمَاهُنَّ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِا اللهِ، وَ السِّحْرُ، وَ قَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهَ إِلاَّ بِا الحَقِّ، وَ أَكْلُ الرِّبَا، وَ أَكْلُ مَالِ اليَتِيْمِ، وَالتَّوَ لِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ الغَافِلاَتِ المُؤْمِناَ تِ

“Jauhkanlah oleh kalian tujuh hal yang membinasakan.” Beliau ditanya:”Apakah itu ya Rasulullah?” Beliau bersabda :”Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran, dan memfitnah wanita-wanita mukmin yang baik-baik, yang tidak terlintas untuk berbuat keji lagi beriman.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

No comments:

Post a Comment